PDM Kota Pasuruan - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kota Pasuruan
.: Home > Artikel

Homepage

Seminar Pendidikan?

.: Home > Artikel > PDM
14 April 2012 11:28 WIB
Dibaca: 1911
Penulis : Kaji Karno

Seminar Pendidikan?

Kaji Karno

 

 Ivan Pavlov bersama asistennya sibuk menghubungkan selang ke kelenjar liur anjing untuk mengukur ‘saliva’. Anjing yang kelaparan ditempatkan di hadapan wadah-makanan yang dapat diatur secara otomatis. Lampu dinyalakan, sedikit makanan diberikan, setelah beberapa detik lampu dimatikan. Alat perekam meregister salivasi yang banyak.   

    Anjing telah diajarkan, atau terkondisikan (terbiasakan), untuk mengasosiasikan cahaya dengan makanan dan berespons terhadapnya dengan ‘salivasi’.

     Sebelum era pra-glasnost dan perestroika  potret pendidikan di Rusia berkiblat kepada  eksperimen Ivan Pavlov ahli psikologi yang memenangkan hadiah Nobel pada awal abad 20. Dampak dari pendekatan ini seperti yang ditulis David Shiper dalam bukunya; Russia: Broken Idols, Solemn Dreams bahwa kehidupan sehari-hari, cita rasa  sosiologis dan psikologis kurang memberi warna kelakuan anak-anak Uni Soviet. Perhatian terpusat kepada apa yang nyata dan dapat diamati, bukan kepada apa di balik yang nyata, yakni proses mental dan emosional yang amat kompleks dan sangat pribadi.    

    Perlakuan terhadap anak sangat terkondisikan, behavioristik sesuai dengan eksperimen Pavlov. Memang model ‘pedagogi-anjing’ yang dianut Uni Soviet sebelum ‘perestroika’ memperoleh hasil yang mentakjubkan. Olahragawan,  musisi, penari yang ketrampilannya diakui dunia. Akan tetapi kering, kaku, dan miskin ide-kreatif. Imajinasi dan kreativitas telah didefinisikan secara serba pasti tidak ubahnya dengan belajar rumus-rumus matematik.  

   Anak-anak dididik seperti robot. Dalam sepak-bola, tim Rusia tangguh, kuat, lari seperti kuda, terampil mengolah bola. Tetapi ketika menghadapi ‘seniman-bola’ Eropa Barat, Brazil, mereka bingung karena tidak sesuai dengan rumus matematik. Alur bola dari kaki ke kaki, umpan-umpan panjang dihubungkan oleh garis lurus, dan mereka tidak mengenal operan panjang model ‘garis-kurva’. Di Olympiade Melbourne Australia tahun 1956 team sepak-bola Rusia ditahan Indonesia 0-0. Mereka bingung dengan ‘tendangan pisang’ Ramang, oleh kecerdikan San Liong maupun ‘cukitan-tungkak’-nya Sulbi (pemain PSSI dari Persekab Pasuruan).    

     Model pembelajaran ‘pengkondisian klasik’ seakan membenarkan teori ilmuwan Inggris Francis Galton -walaupun saat ini diragukan. Menurut Galton, kejeniusan, merupakan hasil kombinasi keturunan dan lingkungan  Anak ketua partai, elite intelligentsia dapat mewariskan statusnya yang tinggi itu kepada anak-anaknya. Sebaliknya, anak-anak dari kalangan bawah tidak mudah memasuki lingkungan elite-intelligentsia, meskipun pinternya sak sundul langit.    

    Akibat dari model pedagogi-anjing, banyak jabatan penting di negeri itu diduduki oleh orang-orang yang tidak cukup cakap, karena jenjang-jenjang pendidikannya (Kasus Pemda kota Pasuruan: program S2 bagi PNS kuliahnya setiap sabtu-legi atau setiap jum’at-kliwon) mejadi ‘jatah’ anak elite partai, pengadaan pegawai hanya khusus bagi anak-anak pejabat partai dan elite partai.    

    Studi Evalina Vasilev di Leningrad (St.Petersburg) menemukan, 19% anak-anak dari kalangan buruh yang nilainya rendah lolos masuk ke jalur akademik. Itupun perkecualian (devisiasi standard) karena mereka menonjol dalam olahraga dan seni. Sedangkan anak dengan nilai rendah dari keluarga elite lolos ke jalur akademik mencapai 77%. Cendekiawan Soviet berasal dari keluarga elite (73%), dan hanya 15% dari keluarga buruh, dan petani.

    Nah, di Indonesia apakah menggunakan teori ‘pengkondisiannya Pavlov’?

    Korelasi antara keberhasilan dalam ‘ujian nasional’ dengan ‘pedagogi anjing’ memperoleh significansinya atau tidak, tergantung kepada seberapa besar ‘ketakutan’ Kepala Dinas Pendidikan, Kepala Sekolah, orang tua, maupun guru-guru bidang studi terhadap; tidak lulus-nya siswa. Jika ‘ketakutan’; jenjang karir macet, dimutasi, antrian sertifikasinya 10 tahun lagi, tidak mendapat ‘pujian’ akibat dari angka kelulusan tidak mencapai target, maka pedagogi anjing berkorelasi positif dengan hasil ujian nasional.

    Membiasakan menjawab soal ujian nasional merupakan unconditioned respon, karena tidak melibatkan proses belajar, begitu juga latihan menjawab soal ujian nasional tahun kemarin setiap hari selama 3 tahun adalah unconditioned stimulus. Siswa telah –menurut teori Pavlov- diajarkan atau terkondisikan (terbiasakan) untuk pandai dan mahir  menjawab soal-soal ujian nasional, kemudian disimpan di storage memory siswa yang nantinya jawaban soal itu akan dibongkar, dikeluarkan lagi ketika ujian nasional datang menjelang. Nglonthok!

   Hipokrisi penyelenggara pendidikan me-nina-bobo-kan, meracuni fikiran rakyat. Bicara ‘mbulet-mbulet’ tentang wajib belajar, pedagogi kasih-sayang, mengajar dengan cinta adalah pekerjaan yang sia-sia, yahanno dan percuma.‘Toh’ yang dapat lolos ke jalur akademik adalah anak orang kaya yang terdidik maupun anak orang kaya yang ‘tidak terdidik’. Juga yang mengisi jabatan-jabatan strategis di PNS nantinya hanya anak-anak dari keluarga mampu, dan juga anak, keponakan, sepupunya, adiknya, adik maupun kakak istrinya pejabat.   

   Di Negeri sosialis-komunis saja begitu, apalagi negeri borjuis, liberalis.

   Iya toh, penerr toh, enaktoh, nyamleng toh? He…he…he….

 

Pasuruan,  31 Juli 2009  

Kaji Karno

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Tags: pp , muhammadiyah , pusat pp , muhammaditahpdmpasuruan
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori : essay pendidikan

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website